Ki Hadjar Dewantara
Loncat ke navigasi
Loncat ke pencarian
Artikel ini membutuhkan lebih banyak catatan kaki untuk pemastian. Bantulah memperbaiki artikel ini dengan menambahkan catatan kaki dari sumber yang tepercaya.
Tulisan yang tidak dapat diverifikasi akan dipertanyakan serta dapat
disembunyikan ataupun dihapus sewaktu-waktu oleh Pengurus.
|
Ki Hadjar Dewantara | |
---|---|
![]()
Ki Hadjar Dewantara
| |
Menteri Pengajaran Indonesia ke-1 | |
Masa jabatan 2 September 1945 – 14 November 1945 | |
Presiden | Sukarno |
Pendahulu | Tidak ada, jabatan baru |
Pengganti | Todung Sutan Gunung Mulia |
Informasi pribadi | |
Lahir | 2 Mei 1889![]() |
Meninggal dunia | 26 April 1959 (umur 69)![]() |
Ki Hadjar Dewantara
Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah tahun edisi 1998.[2]
Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Sukarno, pada 28 November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959).[3]
Daftar isi
Masa muda dan awal karier
Soewardi berasal dari lingkungan keluarga Kadipaten Pakualaman, putra dari GPH Soerjaningrat, dan cucu dari Pakualam III. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tetapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.Aktivitas pergerakan
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD mendirikan Indische Partij, Soewardi diajaknya pula.
Als ik een Nederlander was
Ki Hadjar Dewantara
(Chris Lebeau, 1919)
(Chris Lebeau, 1919)
- "Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya".
Akibat tulisan ini ia ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan sendiri). Namun demikian kedua rekannya, DD dan Tjipto Mangoenkoesoemo, memprotes dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda (1913). Ketiga tokoh ini dikenal sebagai "Tiga Serangkai". Soewardi kala itu baru berusia 24 tahun.
Dalam pengasingan
Soewardi, Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo (Tiga Serangkai) tahun 1914 saat diasingkan di Negeri Belanda
Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akta, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya. Dalam studinya ini Soewardi terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori, serta pergerakan pendidikan India, Santiniketan, oleh keluarga Tagore. Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.
Taman Siswa
Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. ("di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan"). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.
Pengabdian pada masa Indonesia merdeka
Patung Ki Hajar Dewantara
Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 26 April 1959 dan dimakamkan di Taman Wijaya Brata.
Galeri
![]() |
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Ki Hajar Dewantara. |
Referensi
- ^ Ini adalah versi Perguruan Tamansiswa dan Kepustakaan Presiden Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, tokohindonesia.com menyebutkan 28 April 1959 sebagai tanggal wafat.
- ^ Uang Kertas Bank Indonesia Pecahan: Rp. 20.000,-, Bank Indonesia, diakses tanggal 26 April 2011.
- ^ "DAFTAR NAMA PAHLAWAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA"
Pranala luar
kunjungi juga :https://id.wikipedia.org/wiki/Ki_Hadjar_Dewantara