Contoh Makalah ARAH KEBIJAKAN SEKOLAH DALAM FUNGSI DAN PERAN KONSELOR SERTA KETERLIBATAN STAKEHOLDER DAN ASOSIASI PROFESI

Contoh Makalah ARAH KEBIJAKAN SEKOLAH DALAM FUNGSI DAN PERAN KONSELOR SERTA KETERLIBATAN STAKEHOLDER DAN ASOSIASI PROFESI

Contoh Makalah ARAH KEBIJAKAN SEKOLAH DALAM FUNGSI DAN PERAN KONSELOR SERTA KETERLIBATAN STAKEHOLDER DAN ASOSIASI PROFESI


Penulis Kelompok 2:
  1. Alifudin Ahyar                       1753052006
  2. Asti Putri Zakiya                     1713052043
  3. Dika Palwa Putri                     1713052046
  4. Dinda Frimayana                    1713052029
  5. Puspita Ayu Nirmala               1713052037
  6. Nurul Widya Lestari               1713052023
  7. Krisna Dwi Lestari                  1713052030
  8. Reni Ameliawati                     1713052049
  9. Setiawan Adi                          1713052020
  10. Silvia Derly Anggraeni           1713052034
  11. Sita Arizka                              1713052002
  12. Supriyanto                               1713052039

Mata Kuliah              : Program BK di Sekolah
Dosen Pengampu      : Tika Febriyani, S.Pd., M.Pd.



Bimbingan dan Konseling
Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan
Universitas Lampung
2019




Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah melimpahkan anugerah dan karunianya sehingga kami dapat menyusun makalah ini.
Adapun makalah yang disusun ini akan menguraikan pendahuluan yang di latar belakangi dengan ARAH KEBIJAKAN SEKOLAH DALAM FUNGSI DAN PERAN KONSELOR SERTA KETERLIBATAN STAKEHOLDER DAN ASOSIASI PROFESI.
Terimakasih kepada teman-teman yang membantu untuk menyelesaikan makalah ini di perpustakaan UNILA dan mampu bekerjasama mendiskusikan tentang ARAH KEBIJAKAN SEKOLAH DALAM FUNGSI DAN PERAN KONSELOR SERTA KETERLIBATAN STAKEHOLDER DAN ASOSIASI PROFESI. Terimakasih juga untuk kedua orang tua yang selalu memberikan semangat dan pengertian. Terimakasih juga kepada dosen pengampu mata kuliah Program BK di sekolah atas bimbingannya untuk membuat makalah ini.


Bandar Lampung, 15 Maret 2019


Penulis





DAFTAR ISI





BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Di dalam sekolah pasti mempunyai guru BK atau yang biasa disebut konselor. Konselor mempunyai fungsi untuk membantu dan membimbing siswa yang sedang ada masalah atau sedang kebingungan. Dalam makalah ini akan membahas tentang arah kebijakan pendidikan, fungsi dan peran konselor, dan keterlibatan stakeholder,

B.     Rumusan Masalah

a.       Bagaimana arah kebijakan pendidikan?
b.      Bagaimana konsep fungsi konselor?
c.       Bagaimana deskripsi fungsi konselor dalam pandangan pakar?
d.      Bagaimana keterlibatan stakeholder dan asosiasi profesi dan kelomopok kerja?
e.       Bagaimana kolaborasi guru bk dengan stakeholder?

C.    Tujuan Penulisan

a.       Untuk mengetahui arah kebijakan pendidikan,
b.      Untuk mengetahui konsep fungsi konselor,
c.       Untuk mengetahui deskripsi fungsi konselor dalam pandangan pakar,
d.      Untuk mengetahui keterlibatan stakeholder dan asosiasi profesi dan kelompok kerja
e.       Untuk mengetahui bagaimana kolaborasi guru bk dengan stakeholder

BAB II

PEMBAHASAN

1.      Pemberdayaan Lembaga Pendidikan. Kebijakan pendidikan nasional pada semua jenjang baik kini maupun ke depan terutama telah diarahkan kepada pemberdayaan lembaga pendidikan, sehingga memiliki otonomi yang tinggi dalam menghadapi setiap persoalan yang dihadapi. Pemberdayaan lembaga pendidikan ini lebih didasarkan pada pemberian trust kepada lembaga untuk mengelola dirinya sendiri secara bertanggung jawab.
2.      Desentralisasi Pendidikan Keragaman yang dimiliki oleh lembaga pendidikan baik dilihat dari  jenis dan njenjangnya tidaklah relevan lagi jika semua pengelolaan pendidikan disentralkan, sebagaimana pada era-era sebelumnya. Desentralisasi pendidikan diharapkan dapat mewujudkan setiap program dan pelaksanaannya sesuai dengan kondisi masing-masing, sehingga dapat dijamin efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan.
3.      Akuntabilitas Pendidikan. Institusi dan sumber daya pendidikan dalam menunjukkan kegiatannya sering kali lepas dari tanggung jawabnya. Untuk dapat lebih dipertanggungjawabkan kepada public, maka setiap institusi seharusnya mampu menunjukkan kinerjanya secara bertanggung jawab sebagaimana amanat yang telah diberikan. Kegiatan pendidikan tidak hanya menghabiskan biaya yang telah disepakati, namun sejauh mana dapat diwujudkan dalam kegiatan yang bermakna.
4.      Relevansi Pendidikan Program pendidikan dan kurikulum telah dilakukan perbaikan secara terus menerus yang diharapkan dapat menyiapkan lulusan memiliki kesiapan dalam menghadapi tantangan pada jamannya. Namun lepas dari itu tetap berbagai
5.      kegiatan yang diciptakan perlu dirahkan juga untuk membekali peserta didik dalam menghadapi kebutuhan dalam hidupnya.
6.      Pemberdayaan Msasyarakat Masyarakat merupakan stakeholder utama dalam proses pendidikan. Oleh karena di samping pemerintah memenuhi tanggung jawabnya untuk mendukung terjadinya proses pendidikan, masyarakat perlu diberdayakan untuk berpartisipasi, baik secara finansial maupun substantive, sehingga mereka ikut memiliki tanggung jawab dalam mengawal proses pendidikan yang ada di sekitarnya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendi mengungkapkan, ada tujuh arah kebijakan pembangunan pendidikan pada 2017 mendatang.
Pertama, memenuhi pembiayaan kegiatan prioritas nasional dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2017 untuk pencapaian Nawacita.“Penekanan pada upaya peningkatan kualitas pembelajaran di semua jenjang dan jalur pendidikan, baik negeri maupun swasta, dengan kesenjangan kualitas yang semakin kecil,” tutur Muhadjir, Jumat (2/9).
Arah kebijakan pendidikan selanjutnya adalah memberikan perhatian lebih besar pada daerah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T). Ketiga, memastikan masyarakat miskin dan kelompok marjinal lebih mudah mengakses layanan pendidikan dengan memerhatikan keadilan dan kesetaraan gender. Keempat, memanfaatkan anggaran pembangunan pendidikan semaksimal mungkin dirasakan oleh masyarakat. "Selanjutnya,‎ mastikan keterlibatan publik secara maksimal. Keenam, memperkuat tata kelola pembangunan pendidikan dan kebudayaan dan terakhir pelaksanaan anggaran secara transparan serta akuntabel," terangnya.
Selain menyampaikan arah kebijakan pembangunan pendidikan, Mendikbud juga menyampaikan tujuh arahan kebijakan pembangunan kebudayaan tahun 2017. Arah kebijakan tersebut adalah meningkatkan pemahaman publik akan arti penting dari nilai-nilai luhur sejarah dan budaya bangsa dan relevansinya bagi kehidupan masakini di berbagai sektor.
Bekerja sama dengan berbagai kementerian dan lembaga baik dalam negeri maupun lembaga negara lain untuk meningkatkan toleransi dan meredam kekerasan sektarian. Kemudian meningkatkan pendidikan seni dan budaya sejak usia dini, menyediakan sarana dan prasarana kesenian baik untuk keperluan produksi maupun apresiasi, mengembangkan sistem registrasi dan pengelolaan warisan budaya yang efektif. Juga membuka pusat-pusat kegiatan seni dan budaya (rumah budaya) di daerah pinggiran, meningkatkan promosi budaya antar daerah.
Pembahasan tentang fungsi (function) konselor di dalam literatur konseling, kerap kali ditemukan bergandengan dengan pembahasan peran (role) konselor. Bahkan, tidak jarang kedua istilah tersebut dipergunakan untuk menjelaskan maksud dan pengertian yang sama. Pada gilirannya, upaya untuk memperoleh kejelasan batasan kedua istilah tersebut, menjadi tidak mudah. Berkaitan dengan konsep fungsi dan peran konselor, Wrenn (1973) mencatat, bahwa beberapa individu dan kelompok (pakar) mempunyai suatu penanaman di dalam menentukan peran dari konselor itu, tanpa memperhatikan adegan pekerjaan, akan tetapi fungsi-fungsi itu adalah matra yang ekslusif dari konselor yang profesional (Shertzer dan Stone, 1980 : 122).  Dalam pemikiran Wrenn, peran dengan fungsi itu berbeda. Peran, dikonseptualisasikan ke dalam suatu tujuan, sedangkan fungsi berarti proses. Konsep peran lebih ditekankan pada suatu bagian akhir yang dituju; sedangkan fungsi, menegaskan kegiatan atau aktivitas dalam rangka pencapaian tujuan.
Bagi Wrenn, peran didefinisikan sebagai harapan-harapan (expectations) dan pengarahan-pengarahan perilaku yang dikaitkan dengan suatu posisi; sedangkan fungsi diartikan sebagai aktivitas yang ditunjukkan untuk suatu peran. Dengan kata lain, peran berkaitan dengan suatu posisi; sementara itu rincian perbuatan dalam menjalankan posisi berarti fungsi.  Apabila peran sering kali ditegaskan melalui perilaku individu di dalam penampilan hak dan kewajiban yang berkaitan dengan suatu posisi; maka fungsi merupakan aktivitas spesial atau khusus dari seseorang (Hornby, et al., 1969:404). Ketika seorang konselor sekolah, menempati posisi kepala sekolah; maka penampilan tugas kekepalasekolahanlah yang dominan, alih-alih sebagai seorang konselor sekolah. Sementara itu, fungsi konselor sekolah sebagai matra yang eksklusif, lebih ditekankan pada aktivitas-aktivitas layanan yang seyogianya ditampilkan sesuai dengan keahliannya. Konseptualisasi fungsi konselor sekolah tersebut, senada dengan kecenderungan pemikiran para pakar (Froehlich, 1958; Hatch dan Costar, 1961; Zeran dan Riccio, 1962; Gibson dan Higin, 1966; Ibrahim, Helms dan Thompson, 1983; serta William D. Schafer, 1995). Dengan demikian, fungsi konselor sekolah dapat diidentifikasi dan dipahami dari aktivitas-aktivitas layanan, yang tercakup di dalam dan sesuai dengan program yang diselenggarakannya.
Di dalam mendeskripsikan fungsi konselor sekolah para ahli menempuh jalan yang berlain-lainan; sesuai dengan latar belakang landasan filsafiah dan teoretis masing-masing. Namun, pada dasarnya mereka ingin mencapai tujuan yang sama, melalui sudut pandang dan cara yang berbeda.  Para pakar yang berpandangan fenomenologis (Boy dan Pine,1968) merinci tugas-tugas konselor sekolah dikaitkan dengan fungsi-fungsi spesialis bimbingan dan konseling profesional dalam bidang pendidikan, yakni fungsi-fungsi: (a) non-profesional yang termasuk di dalam tugas bimbingan;  (b) bimbingan profesional; (c) bimbingan yang diintegrasikan di dalam konseling; dan (d) fungsifungsi konseling.  Fungsi yang pertama, meliputi tugas-tugas administratif, seperti merancang, merencanakan dan memandu karyawisata siswa dalam kaitannya dengan informasi jabatan/karir, pembuatan laporan kepada orang tua siswa, dan sebagainya. Kemudian, tugastugas pengajaran, tutorial, pengawasan dan pengajaran remedial; disiplin siswa; tugas-tugas klerikal; mencek kehadiran siswa; dan merancang program akademik atau merancang jadwal sekolah.  Fungsi yang kedua, mecakup: penyediaan informasi bagi siswa yang berkaitan dengan kebutuhan mereka akan pendidikan, jabatan, dan data sosial-pribadi; bantuan dalam penyelenggaraan layanan testing untuk mengungkap minat, kemampuan, prestasi belajar dan penyesuaian diri siswa; bantuan penempatan dan pengelompokan siswa di dalam situasi belajar yang menguntungkan secara maksimal; konsultasi sekolah serta penyelenggaraan layanan kemasyarakatan bagi siswa; menyediakan program-program pelatihan dalam jabatan bagi para guru, administrator, dan personal lain mengenai filsafat dan teknik-teknik bimbingan; memperkenalkan siswa kepada layanan bimbingan sebagai program yang berkesinambungan; dan memandu penelitian untuk mengukur keefektifan layanan bimbingan.  Fungsi yang ketiga, meliputi: penyediaan layanan informasional sebagai bagian dari hubungan konseling manakala diminta oleh klien; penyediaan layanan testing sebagai bagian hubungan konseling; mamandu penelitian yang dirancang untuk mengukur keefektifan konseling; dan memandu suatu program pengenalan konseling yang berkesinambungan.  Fungsi yang keempat, konselor melakukan konseling yang profesional dengan individu atau kelompok siswa, yang memiliki permasalahan kesulitan belajar; menyediakan atau menciptakan suasana yang memungkinkan siswa dapat menanggulangi permasalahannya secara terbuka dan efektif; dengan begitu kemampuan mereka berkembang ke arah keberhasilan program pengajaran.
Johnson (Boy dan Pine, 1968: 190-193) memandang fungsi konselor sekolah dari dua model pengembangan, yakni model konselor sekolah yang berkeahlian dalam bidang bimbingan (guidance specialist) dan spesialis konseling (counselor). Dua model yang dimaksud Johnson didasarkan atas asumsi, bahwa bimbingan dan konseling adalah dua hal yang terpisah, akan tetapi saling bergantung di dalam wilayah pendidikan profesional.
Konselor sekolah yang berkeahlian khusus bimbingan, fungsi utamanya lebih terfokuskan pada perencanaan, pelaksanaan, pengembangan dan penelitian layanan bimbingan bagi para siswa. Konselor sekolah yang berkeahlian konseling, fungsi utamanya membantu siswa melalui hubungan konseling. Berbagai aktivitas layanan dan konseling, sama-sama menjadi kepedulian spesialis bimbingan maupun spesialis konseling (konselor); hanya pemusatan seluruh tugas itulah yang membedakannya. Tugas-tugas spesialis bimbingan tertuju pada layanan bimbingan; sedangkan konselor, seluruh tugasnya terpusat pada konseling.
Fungsi-fungsi spesialis bimbingan, antara lain sebagai berikut: (a) memandu bimbingan kelompok kelas sesuai dengan minat dan kebutuhan informasional populasi siswa; (b) membantu siswa dalam merencanakan dan mencapai tujuan pendidikan serta jabatan/karir; (c) menyediakan informasi mengenai beasiswa, kelompok teman, dan bantuan-bantuan; (d) mengadministrasikan, menskor dan menafsirkan tes standar inteligensi, bakat, minat, prestasi belajar dan kepribadian bagi para siswa; (e) memimpin guru-guru di dalam rangka pengem-bangan validitas dan reliabilitas tes mata pelajaran; (f) memandu perancangan penelitian untuk mengukur efektivitas sejumlah program bimbingan; dan (g) memotivasi siswa untuk menggunakan informasi dan layanan testing melalui program orientasi kreatif dan berkesinam-bungan.
Fungsi-fungsi spesialis konseling, antara lain: (a) menyelenggarakan konseling profesional dengan menyertakan kelompokkelompok kecil siswa yang bermasalah serupa, baik berkaitan dengan diri dan atau lainnya; (b) menyelenggarakan konseling profesional dengan individu siswa yang mengalami kesulitan; (c) memandu program layanan pemusatan kelompok bersama guruguru, administrator, dan orangtua siswa di dalam rangka orientasi.
Pertimbangan-pertimbangan filsafiah dan empiris yang mempengaruhi kerja konselor; (d) memandu perancangan penelitian untuk mengukur efektivitas konseling kelompok dan individual; dan (e) memotivasi siswa untuk mencoba konseling dengan kemauan sendiri, melalui program yang kreatif dan berkesinambungan.  Dengan demikian, konselor dan spesialis bimbingan terlibat di dalam aktivitas-aktivitas layanan yang secara realistik berkaitan dengan bidang-bidang mereka; alih-alih menampilkan tugas-tugas administratif yang tiada hubungannya dengan bimbingan dan konseling.  Berdasarkan atas pekerjaan konselor, Osipow, Walsh dan Tosi (1980) mengelompokkan layanan konseling ke dalam lima fungsi dasar, yakni: (a) konseling individual; (b) pengukuran individu-individu dan lingkungannya; (c) pengembangan program dan konsultasi; (d) penelitian dan pelatihan; dan (e) supervisi.  Ketiga pakar tersebut memandang, bahwa jantung dari kelima fungsi di atas adalah konseling. Empat fungsi lainnya, dipusatkan pada aktivitas layanan konseling, yang seringkali dibedakan ke dalam tiga sub tipe konseling, yakni konseling pengesuaian personal, konseling kependidikan dan konseling karir.
Brammer dan Shostrom (1982) mengklasifikasikan tiga tingkatan umum konselor berikut fungsi-fungsinya yang berbeda, pada setiap tingkatan; namun sama-sama berada dalam jalur pengabdian pendidikan. Ketiga tingkatan yang dimaksud diidentifikasikan atas dasar perbedaan dalam: (a) pendidikan yang pernah ditempuhnya; (b) kompetensi; dan (c) waktu konseling yang diselenggarakannya.  Tingkat pertama, adalah konselor kependidikan yang berakar profesional lebih luas dalam bidang pengajaran dan mungkin bekerja sambilan dalam bidang konseling; atau lebih banyak sebagai perencana pendidikan. Fungsi konselor tingkat ini, terutama memberikan layanan informasi dan nasihat, sehingga mereka lebih sering disebut sebagai penasihat (advisers).  Tingkat kedua, ialah konselor yang berafiliasi profesional terutama di dalam pendidikan dan secara umum telah menyandang gelar master atau spesialis dalam konseling.
Fungsi konselor pada tingkat ini, adalah menangani permasalahan konseling sekolah secara luas; terentang dari pemberian informasi sederhana tentang perguruan tinggi (kelanjutan studi), perencanaan jabatan dan penyesuaian sosial, hingga menangani masalah-masalah yang lebih menuntut keterlibatan emosional sekaitan dengan kematangan.  Konselor pada tingkat ketiga meliputi psikolog klinis, konselor sekolah atau perguruan tinggi. Konselor pada tingkat ini, secara umum berpengalaman di dalam posisi-posisi pendidikan; akan tetapi latar belakang pendidikan profesional mereka terutama bidang psikologi, kerja sosial psikiatri, dan atau kedokteran.
Bagi Brammer dan Shostrom, pengelompokan konselor ke dalam tiga tingkatan tersebut tidak menunjukkan perbedaan tingkat status masing-masing; melainkan ditekankan pada tingkat fungsional. Dengan kata lain, setiap tingkat tidak menggambarkan derajat paling tinggi dalam keahlian atau terbaik dalam penyelenggaraan bimbingan dan konseling; melainkan semata-mata menunjukkan dasar pijakan disiplin ilmu mereka sebelum terjun dalam bidang konseling profesional.  Paparan Brammer dan Shostrom di atas, secara tersirat mengandung implikasi bagi terciptanya lembaga yang mengurus kelayakan bagi setiap tingkat konselor, yang dapat membina pengabdiannya baik melalui lisensi, sertifikasi, maupun akreditasi dalam bidang konseling. Lembaga yang dimaksud, diperlukan dalam rangka menghindari terjadinya tumpang-tindih layanan kepada klien. Selain itu diperlukan pula perlindungan secara legal dalam bentuk kode etik profesional.
Asosiasi Konselor Sekolah Amerika atau American School Counselor Association (Shertzer dan Stone, 1980) pada bulan Maret 1977 mempublikasikan rincian fungsi konselor sekolah menengah, yang mencakup fungsi: (a) konseling individual dan kelompok; (b) konsultasi staf; (c) bantuan bagi orangtua; (d) pengukuran atau pemahaman diri siswa; (e) informasi dan perencanaan; (f) alihtangan; dan  (g) hubungan masyarakat.  Pada tahun 1974 Asosiasi tersebut mempublikasikan pula pernyataan-pernyataan tentang fungsi konselor di dalam perbagai adegan pendidikan, baik SD, SLTP maupun Perguruan Tinggi. Publikasi-publikasi yang dimaksud, dapat dipandang sebagai upaya perlindungan bagi para konselor sekolah di dalam menjalankan fungsinya masing-masing. Upaya tersebut, pada gilirannya merupakan antisipasi preventif agar terhindar dari ketumpangtindihan layanan.
Ibrahim, Helms dan Thompson (1983) menyelenggarakan penelitian tentang peran dan fungsi konselor, yang melibatkan empat kelompok subjek, yakni pihak pengguna yang meliputi orangtua siswa, administrator, dan kelompok bisnis, serta pihak konselor sendiri. Penelitian yang dilakukan mereka, didasarkan atas pernyataan peran dan fungsi konselor produk Asosiasi tersebut.  Hasil penelitian mereka menunjukkan, bahwa setiap pernyataan tentang fungsi konselor dipertimbangkan oleh seluruh kelompok responden, dianggap penting, dengan perbandingan ratarata 2,0. Rata-rata didasarkan atas skala 3 = sangat penting; 2 = penting; dan 1 = tidak penting. Hasil penelitian tersebut mengindikasikan, bahwa suatu konsensus umum menganggap setiap pernyataan aktivitas layanan atau fungsi-fungsi merupakan komponen-komponen yang penting dari peran konselor sekolah.
Derajat kepentingan atas pernyataan-pernyataan fungsi konselor tidak hanya berdasarkan anggapan kelompok pengguna (orangtua siswa) dan diri konselor sendiri; melainkan didasarkan atas anggapan kesejawatan (administrator) dan kelompok profesional lain (kelompok bisnis). Artinya, tidak ada satu kelompok pun yang menganggap setiap pernyataan fungsi konselor tidak penting.  Hasil penelitian tersebut mengisyaratkan, bahwa dalam upaya pengembangan fungsi konselor profesional diperlukan pengakuan dan dukungan dari perbagai pihak yang terkait; di samping diperlukan upaya konselor sendiri untuk menjalankan fungsi-fungsinya secara profesional pula.  Tampaknya, profesionalisme sebagai faham keahlian merupakan kata kunci landasan pengabdian konselor sekolah di dalam menjalankan fungsi-fungsinya kepada sesama (klien); sebagaimana pernah ditegaskan oleh  Rochman Natawidjaja (1990 : 18).
Selanjutnya, Rochman Natawidjaja (1990) mengajukan rangkuman tugas perangkat ketenagaan bimbingan di sela-sela perangkat ketenagaan pendidikan lainnya. Rochman menamakan guru pembimbing atau konselor sekolah itu dengan sebutan Pembimbing/Penyuluh. Adapun deskripsi tugas Pembimbing yang dimaksud, adalah sebagai berikut: (a) Mengelola program bimbingan di sekolah; (b) Menemukan dan membantu menanggulangi masalah sosial-pribadi siswa; (c) Bersama guru menemukan dan menanggulangi kesulitan belajar siswa; (d) Bersama kepala sekolah, menemukan dan menanggulangi masalah ketertiban siswa; (e) Membimbing perkembangan karir siswa; (f) Menjalin hubungan antara kehidupan sekolah dan kehidupan anak dalam keluarga; (g) Membantu penanggulangan konflik guru-siswa; (h) Membantu siswa dalam menangani tekanan psikis. (Lihat Rochman Natawidjaja, 1990: 44-45. Urutan pengabjadan dari penyusun).
Di samping tugas-tugas tersebut, pakar bimbingan yang dimaksud mengajukan pula kompetensi-kompetensi yang seyogianya dikuasai oleh konselor sekolah. Buah pemikiran yang demikian komprehensif itu, bertitik tolak dari kepedulian yang sangat mendalam akan perkembangan profesi tenaga kependidikan, terutama konselor sekolah.  Pengajuan pemikiran seperti itu dipandang sangat penting dan proporsional tidak hanya untuk kalangan pakar sejawat dan kalangan praktisi bimbingan; melainkan dapat dijadikan rujukan bagi kalangan institusional pengambil kebijakan.
Dipandang sangat penting dan proporsional, dikarenakan yang menjadi lambaran pemikirannya, adalah : (a) adanya realitas faktual spektrum tenaga kependidikan (termasuk petugas bimbingan) yang beragam, tengah mengabdikan dirinya dalam adegan pendidikan; (b) lahirnya produk-produk hukum pasca Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional; yang menyuratkan pengakuan resmi secara hukum terhadap keberadaan bimbingan di sekolah, terutama pada jenjang pendidikan dasar dan menengah (Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1990; dan Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1990),; dan (c) terakomodasikannya pelbagai pertimbangan empiris dan keorganisasian, yang berimplikasi bagi diadakannya konsolidasi profesional petugas bimbingan.
Dari perspektif pemikiran Rochman Natawidjaja diperoleh ketegasan arah konsolidasi profesional petugas bimbingan, menuju kepada penempatan masing-masing petugas itu selaras dengan fungsi serta latar belakang pendidikannya. Pada giliran selanjutnya, diupayakan untuk meningkatkan kemampuan kerjanya melalui program pendidikan formal yang selaras pula dengan fungsinya itu; yakni dengan materi yang benar-benar dibutuhkannya.  Perspektif pemikiran seperti itu, mendukung posisi konselor sekolah berada dalam adegan tenaga kependidikan non-guru, yang tugas utamanya bukan mengajar. Konselor sekolah terlingkup di dalam tugas profesional pendidikan, baik jalur sekolah maupun luar sekolah. Adanya konselor sekolah di samping tenaga kependidikan lain merupakan konsekuensi logis dari hasrat penyelenggaraan pendidikan yang terpadu; yang berkehendak agar peserta didik sejahtera lahir-batinnya, berkembang berbagai matra perilaku dan pribadinya secara utuh, serta terarahkan dalam mencapai tujuan pendidikan secara optimal, hingga kehidupannya bermakna bagi diri, lingkungan dan Tuhannya.
Berkaitan dengan fungsi konselor sekolah, Konsorsium Ilmu Pendidikan (1990) dalam Naskah Akademik tentang Jabatan Fungsional Koselor Sekolah, mengungkapkan sebanyak enam belas tugas fungsional konselor sekolah, yang disebutnya sebagai tugas pokok. Fungsi-fungsi yang dimaksud, adalah: (a)Menyusun program BK; (b) Mengorganisasikan pelaksanaan program BK; (c) Memasyarakatkan program BK; (d) Melaksanakan program orientasi bagi siswa baru; (e) Mengungkapkan masalah siswa; (f) Menyusun dan mengembangkan himpunan data; (g) Menyelenggarakan layanan penempatan siswa; (h) Menyelenggarakan bimbingan karir; (i) Menyelenggarakan bentukbentuk pelayanan klien, yaitu konseling dan bimbingan/konseling kelompok; (j) Menyelenggarakan bimbingan kelompok belajar; (k) Membantu guru dalam diagnosis kesulitan belajar, pengajaran perbaikan, program pengayaan, dan kegiatan ko/ekstra kurikuler; (l) Menyelenggarakan  konsultasi dengan orangtua; (m) Mengusahakan perubahan lingkungan klien; (n) Menyelenggarakan konpenrensi kasus; (o) Menerima dan memberikan alih-tangan; dan (p) Mengadakan hubungan masyarakat.
Rincian tugas-tugas pokok konselor sekolah di atas, dipandang sebagai perwujudan dari fungsi-fungsi layanan bimbingan dan konseling yang diselenggarakan oleh konselor, yang bekerja sama dengan guru dan personil sekolah lainnya. Adapun yang menjadi dasar pemikirannya adalah sebagai berikut.  Layanan bimbingan dan konseling menjalankan fungsi penyaluran, pencegahan, berbaikan, dan pengembangan. Keseluruhan fungsi itu ditujukan bagi terpenuhinya kondisi, baik interen pada diri siswa, maupun ekstern lingkungan siswa, agar siswa dapat memperoleh kesempatan yang sebaik-baiknya, untuk memperkembangkan dirinya secara utuh dan optimal dalam aspekaspek fisik, kemampuan mental-spritual, hubungan sosialemosional, dan pengembangan karir.   Dalam menjalankan fungsi (tugas pokok) bidang bimbingan dan konseling, konselor sekolah seyogianya selalu memperhatikan kode etik profesional. Konselor dituntut untuk selalu menjiwai pelayanan yang diselenggarakan dengan kode etik itu, sehingga ia terhindar dari praktek-praktek yang menyimpang.  Dengan memperhatikan dasar pemikiran tersebut, tampak bahwa fungsi konselor sekolah perlu dilaksanakan oleh tenaga kependidikan tersendiri; yang tidak merangkap dengan tugas-tugas lainnya. Dalam arti lain, layanan BK tidak akan terlaksana dengan baik apabila para petugasnya dibebani tugas-tugas pokok di luar bidang bimbingan dan konseling. Dengan demikian, aktivitas layanan bimbingan konseling yang profesional diisyaratkan dalam perspektif seperti ini.
Setelah mengetahui apa itu stakeholder dan siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai stakeholder. Timbul pertanyaan, apa peran stakeholder tersebut terhadap BK di sekolah? Jadi stakeholder berperan penting dalam menjalankan pelayanan BK, antara stakeholder dengan BK tentunya mempunyai hubungan yang sangat erat, mengapa demikian? karena BK tidak mungkin berjalan sendiri tanpa adanya stakeholder. Peran stakeholder disini juga berpengaruh besar terhadap suksesnya pelayanan BK.
Kita ambil contoh, ada seorang siswa yang sedang terjebak dengan suatu masalah di sekolah, siswa itu merasa bahwa gara-gara masalah itu dirinya kurang bisa mengikuti pelajaran dengan baik dilihat dari nilai yang diterimanya itu semakin lama semakin menurun. Padahal dia sudah belajar semaksimal mungkin.Nah, dari kasus diatas dibutuhkanlah stakeholder sekolah yaitu guru BK. Mengapa harus guru BK? Perlu kita pahami, walaupun semua guru itu sama, akan tetapi sudah menjadi ranah guru BK dalam melakukan pelayanan bimbingan dan konseling.
Lalu, apakah guru BK hanya melayani siswa seorang diri saja? Tentu tidak, dalam pelayanan bimbingan dan konseling tentunya membutuhkan bantuan dari stakeholder lainnya. tanpa dukungan dari stakeholder lainnya siswa akan terisolasi dalam dunia teori tanpa mampu melakukan tindakan konkret.Tanpa adanya kerjasama yang baik antara stakeholder dengan BK maka pelayanan tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Nah dari sinilah kita mengetahui bahwa hubungan antara BK dengan stakeholder itu bagaikan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Di sekolah sangat mungkin ditemukan permasalahan-permasalahan siswa dan upaya untuk menangani siswa tersebut bisa melalui pendekatan disiplin dan pendekatan bimbingan konseling. Penanganan siswa bermasalah melalui pendekatan disiplin biasanya akan merujuk pada aturan atau tata tertib sekolah beserta sanksinya. Namun, dapat kita ingat kembali bahwa sekolah merupakan "lembaga pendidikan" bukanlah "lembaga hukum" yang dengan mudahnya memberi sanksi kepada siswa, yang sebenarnya siswa tersebut sangat membutuhkan uluran tangan untuk menyembuhkan permasalahan yang dialaminya. Nah, di sinilah sangat diperlukan pendekatan bimbingan konseling di sekolah.
Dalam pelayanan bimbingan konseling di sekolah, pembimbing yang biasa dikenal siswa dengan sebutan guru BK memiliki peran untuk menciptakan iklim belajar yang kondusif bagi siswa. Maka tak heran ketika ada siswa yang melanggar tata tertib sekolah, siswa yang bermasalah dalam belajarnya, dan apa saja yang mengganggu kekondusifan belajar mengajar akan mendapat bimbingan langsung dari guru BK. Akan tetapi, sangatlah sulit bagi guru BK jika harus menyelesaikan semuanya tanpa ada bantuan dari manapun. Ya bisa dibayangkan, kebanyakan sekolah hanya memiliki 1-5 guru BK dan mereka harus berhadapan dengan seluruh siswa yang ada di sekolah tersebut katakanlah 123 siswa. Apakah bisa guru BK tersebut dapat melayani siswa dengan baik dan menyeluruh? Saya rasa tidak. Oleh karena itu, kolaborasi antara guru BK dengan stakeholder-stakeholder sekolah perlu diciptakan untuk menunjang pengembangan dan pelaksanaan program bimbingan dan konseling di sekolah.

Apa sih stakeholder sekolah itu?

Stakeholder berasal dari dua kata yaitu stake dan holder. Stake mempunyai arti to give support to sedangangkan holder berarti pemegang. So, stakeholder adalah orang yang memberi dukungan (support). Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa stakeholder sekolah adalah orang-orang yang menjadi pemegang sekaligus pemberi support terhadap siswa di sekolah. Dengan kata lain, stakeholder sekolah merupakan key person bagi siswa dalam kegiatan belajar mengajar.

Siapa saja sih sosok stakeholder sekolah itu?

Sosok stakeholder sekolah meliputi seluruh elemen sekolah. Mulai dari kepala sekolah beserta jajarannya, administrator sekolah, guru, siswa, wali kelas, staf kantin, penjaga, dan lain-lainnya. Keterlibatan stakeholder dalam pelayanan bimbingan dan konseling tidak hanya sekedar dapat membantu guru BK dalam menyembuhkan permasalahan siswa, tetapi dapat mengembangkan program bimbingan dan konseling secara komprehensif bagi siswa.

Bagaimana sih bentuk kolaborasi guru BK dengan stakeholder sekolah itu?

Nah, sampai di sini sudah dapat diketahui seberapa perlu adanya kerja sama antara guru Bk dengan stakeholder-stakeholder sekolah. Misalnya saja, ada seorang siswa yang sangat kesulitan sekali dalam mencerna pelajaran bahasa Arab. Akhirnya, nilai-nilai bahasa Arabnya selalu dibawah standart dan setiap ujian ulang tetap saja hasilnya sama. Untuk menangani permasalahan ini, guru BK bisa bekerja sama dengan salah satu stakeholder sekolah yaitu guru mata pelajaran bahasa Arab untuk membantu siswa tersebut agar bisa belajar bahasa Arab secara efektif sesuai dengan kemampuan siswa tersebut.jadi, dari penjelasan-penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dengan berkolaborasinya guru BK dengan stakeholders sekolah sangat menunjang pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling di sekolah.
Keterlibatan asosiasi profesi bimbingan konseling (ABKIN)
1)      Aktif dalam upaya menyukseskan pembangunan nasional, khususnya di bidang pendidikan dengan jalan memberikan sumbangan pemikiran dan menunjang pelaksanaan program yang menjadi garis kebijakan pemerintah.
2)      Mengembangkan serta memajukan bimbingan dan konseling sebagai ilmu dan profesi yang bermartabat dalam rangka mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga 3 Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia.
3)      Mempertinggi kesadaran, sikap dan kemampuan professional konselor agar berhasilguna dan berdayaguna dalam menjalankan tugasnya. Yaitu:
1.      Sebagai wadah persatuan, pembinaan dan pengembangan anggota dalam upaya mencapai tujuan organisasi.
2.      Sebagai wadah peran serta profesional bimbingan dan konseling dalam usaha mensukseskan pembangunan nasional.
3.       Sebagai sarana penyalur aspirasi anggota serta sarana komunikasi sosial timbal balik antar organisasi kemasyarakatan dan pemerintah.
KEGIATAN DAN USAHA
Untuk dapat melaksanakan fungsi, Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia melaksanakan kegiatan-kegiatan yang meliputi:
  • Penelitian dan pengembangan ilmu dan teknologi dalam bidang bimbingan dan konseling
  • Peningkatan mutu layanan bimbingan dan konseling
  • Penegakan kode etik bimbingan dan konseling Indonesia
  • Pendidikan dan latihan keterampilan profesional
  • Pengembangan dan pembinaan organisasi
  • Pertemuan organisasi dan pertemuan-pertemuan ilmiah
  • Publikasi dan pengabdian masyarakat
  • Advokasi layanan profesi
Untuk dapat mencapai tujuan organisasi, Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia melakukan usaha-usaha, yaitu:
  1. Menyelenggarakan rencana dan program kerja organisasi yang mencakup isi
  2. Memperkuat kedudukan dan pelayanan bimbingan dan konseling pada bidang pendidikan dan pengembangan kemanusiaan pada umumnya.
  3. Membina hubungan dengan organisasi profesi dan lembagalembaga lain di dalam negeri maupun di luar negeri.
USAHA ABKIN MENGEMBANGKAN PROFESI
Usaha yang dilakukan ABKIN dalam mengembang profesi antara lain :
  • Menyiapkan pendidikan profesi konselor.
  • Menyusun kompetensi konselor (2001).
  • Menata pendidik profesional konselor(2007).
  • Menyelenggarakan layanan BK dalam jalur pendidikan formal (2007).
  • Usaha lanjutan yang dilakukan ABKIN, antara lain :
  • Sertifikasi guru bimbingan dan konseling.
  • Rancangan permendiknas tentang pendidikan profesi konselor (2007).
  • Pelantikan lulusan pendidikan profesi konselor (UNP) dan sertifikasi jalur pendidikan (UNJ).
  • Fasilitasi pengembangan kurikulum BK/profesi (Kaprodi dan pakar BK serta ABKIN).
  • Pengangkatan guru BK ke Dinas Pendidikan dan Bupati.
  • Masukan terhadap rancangan pedoman pelaksanaan tugas guru dan pengawas, khusus tentang BK.
  • Beban kerja / jam kerja dan ratio guru BK atau konselor.
  • Partisipasi daalam musibah, khususnya bencana alam.

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Jadi dalam pendidikan pastinya ada arah kebijakan yang menuntun bagaimana tentang sekolah. Fungsi dan peran konselor juga sangat penting dalam membantu siswa/i di sekolah karena konselor mengerti tentang perkembangan siswa/i. Freeman (1984) mendefenisikan stakeholder sebagai kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu. Stakeholder pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah meliputi: komite sekolah, orang tua, masyarakat, donatur, pemerhati pendidikan dan dinas terkait. Guru BK dalam menangani siswa/i yang kesulitan belajar atau masalah lain bisa saja bekerjasama dengan salah satu stakeholder sekolah, dengan begitu bantuan akan berjalan efektif.



Daftar Pustaka
Jalal, Fasli dan Supriadi, Dedi. Ed. (2001), Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, Yogyakarta: Adicita.
Tilaar, H.A.R. (1998), Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional: Dalam Perspektif Abad 21, Magelang: Penerbit Tera Indonesia
Tilaar, H.A.R. (2000), Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Depdikbud. (1979). Pedoman Pelaksanaan Kurikulum; Buku III C. Jakarta: Balai Pustaka.
Depdikbud. (1985). Petunjuk Pelaksanaan Bimbingan Karier. Jakarta: Depdikbud RI.
Depdikbud. (1994). Kurikulum Sekolah Menengah Umum (SMU); Petunjuk Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Ditjen Dikdasmen. Dikmenum.